Karakter Pemuda Indonesia | Pemuda Indonesia Foundation Karakter Pemuda Indonesia | Pemuda Indonesia Foundation

Karakter Pemuda Indonesia

Posted by Gerakan Pemuda Indonesia Berani Bermimpi On 11:54 PM
Kita dapat menyaksikan sendiri bahwa akhir-akhir ini begitu banyak sosok manusia Indonesia yang tampil penuh pamrih, tidak tulus ikhlas, tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, dan sifat-sifat buruk lainnya. Sifat dan sikap yang demikian itu akan termanifestasikan pada perilaku yang suka menyalahkan orang lain,  senang menghujat dan tidak dapat dipegang janjinya, menjadi sosok yang pemarah, pendendam, tidak toleran, perilaku buruk dalam berkendaraan, praktik korupsi, premanisme, perang antarkampung dan suku dengan tingkat kekejaman yang sangat biadab, menurunnya penghargaan kepada para pemimpin, dan sebagainya. Bahkan yang lebih tragis, anak-anak kita yang masih duduk di bangku kuliah pun sudah dapat saling menyakiti di jalanan. Untuk menjadi masyarakat berperadaban tinggi sangat diperlukan aspek karakter yang baik pada setiap orang. Sehingga diperlukannya pendidikan yang menyentuh aspek pengembangan karakter tidak saja dirasakan bangsa Indonesia yang memang masih sedang berbenah diri menuju masyarakat berkeadaban. Namun, negara maju sekalipun seperi Amerika Serikat merasakan hal yang sama. Kebutuhan dimaksud lebih didorong oleh adanya kenyataan semakin menurunnya moralitas warga negara terutama sejak memasuki era global satu dekade terakhir ini. Seperti yang dikemukan oleh Lickona (1992) di Amerika dirasakan telah terjadinya penurunan kualitas moralitas di kalangan pemuda termasuk pada kaum terdidik. Berdasarkan hasil berbagai survey dilaporkan  sebagai berikut. Sekitar 41%  mengendarai mobil dalam keadaan mabuk atau dalam pengaruh narkoba; 33%  menipu teman baiknya mengenai hal yang penting; 38%  berbohong dalam melaporkan pajak pendapatan; 45 % termasuk di dalamnya 49% suami dan 44 % istri berselingkuh. Seks bebas ? Narkoba ? kejahatan jalanan?
Secara lebih rinci masalah moralitas yang tampak dalam masyarakat adalah sebagai berikut.
·         Vandalime (Vandalism).
·         Kekerasan (violence)
·         Mencuri (Stealing).
·         Menyontek (Cheating).
·         Tidak hormat pada pejabat publik (Disrespect for authority).
·         Kekejaman terhadap teman sebaya (Peer cruelty).
·         Menyerang keyakinan orang lain yang berbeda (Bigotry).
·         Berbicara kasar/ tidak pantas/ tidak wajar (Bad language).
·         Perkosaan dan pelecehan seksual (Sexual precosity and abuse).
·         Bertambahnya orientasi pada diri sendiri dan  menurunnya tanggung jawab sebagai warganegara (increasing sel-centeredness and declining civic responsibility).
·         Perilaku merusak diri sendiri (Self-destructive behavior).
·         Korupsi
·         Aborsi
·         Perang antar suku

Melihat secuil fakta tersebut tentu kita akan merasa sedih dan menggurutu kesal didalam hati kenapa perbuatan itu terjadi? Kenapa warga negara bangsa ini perilakunya tidak mencerminkan sebagai bangsa timur yang konon katanya baik dan ramah? Kenapa nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa ini sedikit demikit  hilang? Jawabannya karakter bangsa kita sudah mulai hilang.
Karakter bangsa; kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup diskusi perihal penyebab keterpurukan Bangsa Indonesia di berbagai bidang. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa karakter bangsa kita, ekstrimnya, sedang berada di titik nadir. Saya sangat meyakini bahwa perbaikan karakter bangsa merupakan satu kunci terpenting agar bangsa yang besar jumlah penduduknya ini bisa keluar dari krisis dan menyongsong nasibnya yang baru.  Pergilah ke kantor-kantor yang berurusan dengan pelayanan publik, pasar, hingga jalan raya; dan bandingkan dengan kondisi tempat yang sama di negara maju, anda akan bisa memaklumi puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku) Menjadi Bangsa Indonesia. Tak perlu gerah dan membuat puisi tandingan, gunakan cermin besar untuk melihat keseharian bangsa kita (yang tentu saja turut menelanjangi diri sendiri). Masih ada, jelas, bagian dari bangsa kita yang berkarakter mulia; hanya sayang, jumlahnya masih minoritas. Sudah Habis Teori di Gudang; demikian ungkapan Professor Mahfud MD menjawab pertanyaan mahasiswanya tentang teori apa lagi yang bisa digunakan untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis (Kompas, 11 Oktober 2005). Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam aplikasinya. Tidak sesuainya kata dan perbuatan, demikian ungkapan dai-dai kondang kita yang berusaha mencari solusi bagi bangsa. Menjadi lebih menyedihkan lagi manakala kita melihat ke dalam dan menemui bahwa mayoritas komponen bangsa kita mengklaim dirinya sebagai bangsa yang religius. Banyak sudah orang mengatakan bahwa nilai-nilai religiusitas yang diyakini menjadi bagian integral Bangsa Indonesia justru diaplikasikan dalam keseharian oleh bangsa maju yang notabene sekuler. Bangsa kita gagal dalam melakukan internalisasi nilai-nilai luhur yang berasal dari Tuhan menjadi perilaku keseharian. Sedangkan bangsa lain memeras otak mereka dan menghasilkan prinsip hidup yang terealisir. Nilai-nilai luhur bangsa kita jelas lebih unggul, karena berasal dari Tuhan; perlu usaha keras dan luarbiasa untuk melakukan internalisasi. Tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sebagian besar lembaga pendidikan kita, baik pendidikan formal ataupun non-formal, umum ataupun keagamaan, belum berhasil melakukan tugas utamanya: internalisasi nilai luhur menjadi perilaku.
Belum terlambat dan insya Allah tidak mustahil mengubah nasib Bangsa Indonesia. Jangan menunggu keajaiban datang dari langit. Seluruh komponen bangsa: Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Militer, Penegak Hukum, Swasta, dan Masyarakat harus bertekad kuat memperbaiki karakter bangsa melalui peran masing-masing. Tidak perlu membuat TAP MPR atau UU Karakter Bangsa – pengalaman menunjukkan bahwa banyak peraturan di bumi pertiwi yang hanya berhenti di lembaran negara. Zero defect harus menjadi prinsip utama seluruh komponen bangsa; baik untuk urusan kecil, seperti membuang sampah, hingga pengamanan harta negara. Implementasi zero defect memerlukan kepemimpinan yang bersih, kuat, tegas, dan berstamina tinggi. Zero defect tidak mustahil untuk dilaksanakan, karena ini masalah pembiasaan. Zero defect bukan berarti mengingkari kodrat manusia yang memang tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan; namun hal tersebut menjadi the ultimate goal yang patut digantungkan di dinding kantor-kantor pemerintahan. Sedikit penyimpangan terhadap zero defect yang masih berada dalam toleransi yang terukur bisa ditolerir dengan catatan adanya tekad bulat untuk kembali menuju ke zero defect.

    Karya

    More on this category »

    Inspirasi

    More on this category »

    Event

    More on this category »

    About Us

    More on this category »