REFLEKSI SUMPAH PEMUDA ;
Berkarya, Bersatu dan Bangkit
harus tampil sekelompok pemuda pembebas yang tercerahkan untuk meng-inspiring
dan meng-empowering bangsa ini
SEBAGAI produk sebuah kesadaran kolektif, Sumpah Pemuda melintasi imajinasi zamannya. Ia tercetus 17 tahun sebelum Indonesia merdeka, ketika jarak waktu masih dijauhkan oleh jarak ruang, jarak psikologis, jarak kesadaran, dan jarak informasi. Belum ada jet pelintas batas ruang. Belum ada prosesor pelintas batas informasi berkecepatan giga-hertz. Belum ada semua hal seperti sekarang yang memungkinkan dilakukan pemendekan jarak waktu (time dilation).
Menariknya lagi, ketika itu tidak ada jaminan bahwa apa yang dilakukan oleh para Pemuda 1928 itu akan memiliki muara sejarah yang jelas, dan juga mulia. Satu-satunya jaminan adalah keyakinan. Sekarang kita tahu muara dan arti keyakinan itu, karena kita bebas merdeka dan berdaulat di bumi Nusantara yang dihuni lebih dari 200 juta lebih manusia Indonesia.
Meski banyak nada pesimistis akan generasi muda masa kini, masih cukup banyak dari mereka yang mendengarkan gema nyaring Sumpah Pemuda serta terus berdentang dan mendentangkan imajinasi di lubuk hati yang paling dalam. Tetapi mengapa gema Sumpah Pemuda mampu terus bertahan. Pertama, karena berisi gagasan jernih, jujur, cerdas, dan lugas, yang diungkapkan secara jernih, jujur, cerdas, dan lugas pula. Pemuda 1928 berhasil menangkap ruh ke Indonesiaan, lalu mengekspresikan itu dalam Sumpah Pemuda. Kedua, gagasan itu melintasi imajinasi zamannya.
Sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh para pejuang generasi atau angkatan muda Indonesia pada tahun 1928 menunjukkan betapa kuatnya tekad mereka pada saat itu untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Namun demikian, kuatnya tekad mereka untuk mengorbankan apa yang dimilikinya tidak bisa dengan mudah di contoh dan dilaksanakan oleh generasi muda saat ini. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan pola pikir pada generasi muda Indonesia saat ini. Salah satu faktor penting yang merubah pola pikir dan kebiasaan generasi muda Indonesia adalah perkembangan teknologi informasi. Seiring dengan perkembangan jaman dan perubahan yang cukup siginifikan pada teknologi informasi, maka berubah pula arah dan kebiasaan generasi muda Indonesia.
Kondisi pemuda Indonesia sekarang cukup ironis. Kita bisa melihat begitu banyak berita soal pengangguran, penyimpangan perilaku, kenakalan dan lain-lain yang intinya jauh dari harapan bangsa. Hal ini terjadi karena dua faktor besar, pemudanya sendiri dan masyarakat di sekitarnya.
Dari aspek pemuda, pemuda kurang mengasah diri untuk berkembang menjadi lebih baik. Sedangkan masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk belajar lebih banyak. Jembatan yang menghubungkan dua aspek ini adalah keluarga. Peran keluarga sangat penting dalam perkembangan pemuda. Jadi, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kondisi pemuda saat ini.
Tantangannya sangat majemuk dan kompleks. Kalau pada tahun ’45, musuhnya jelas. Pasca itu, kita menghadapi ‘dua lawan’ sekaligus, ada dari kalangan sendiri yang menjajah bangsanya. Misalnya, politisi yang korup, birokrat yang tidak profesional, pengusaha yang hanya sibuk memperkaya dirinya, dan sebagainya. Kedua neokapitalisme dan imprealisme asing dan yang fokus mengeksploitasi cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat di negeri ini.
Namun yang terjadi sat ini adalah pemuda indonesia lebih senang menghabiskan waktu ditempat hiburan daripada sekedar membaca dan menelaah nasib bangsanya, pemuda-pemuda diperkotaan termasuk anak-anak para pejabat lebih senang menghambur-hamburkan uang mereka pada butik-butik ternama dalam dan luar negri, sementara disisi lain anak-anak dipelosok daerah mengalami kesulitan dalam mengakses ke fasilitas pendidikan dan kesehatan, seolah-olah pemuda perkotaan bukanlah satu bangsa dengan anak-anak dipelosok daerah, tidak ada ikatan kepedulian diantara mereka untuk membangun bersama masa depan bangsa ini.
Dengan kondisi seperti ini kita wajib mewaspadai bahwa Indonesia dimasa depan akan mengalami krisis kepemimpinan, ini dikarenakan bukan karena tidak ada orang yang mau memimpin tetapi karena Indonesia kehilangan pemimpin yang berkarakter pemimpin.
Dimasa depan Indonesia hanya menjadi negara yang rakyatnya adalah mantan-mantan anak manja yang menjadi dewasa, yang lebih cenderung bersikap konsumtif dibanding berwatak produktif. Mungkinkah anak-anak manja itu mampu menjadi pemimpin dinegri yang memiliki 1.128 suku 726 ragam bahasa dan 17.504 pulau, sementara mereka sendiri terjebak dalam pragmatisme pribadi yang membuat mereka lebih rakus dibanding kapitalis.
Siapa yang akan memikirkan Indonesia dimasa depan, sementara pemuda indonesia hanya asik menghabiskan jatah kue pembangunan, tanpa memikirkan apakah saudara-saudara kita diujung papua sana menikmati kue pembangunan yang sama dengan yang kita nikmati, sampai kapankah kue pembangunan itu dapat kita nikmati, dan mampukah indonesia bertahan. Tidak ada cara lagi menyelamatkan keutuhan Indonesia dimasa depan, kecuali dengan menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap Indonesia yang satu kesatuan tak terpecah oleh batas wilayah dan suku. Karena dengan hanya dengan menumbuhkan kembali rasa cinta itu maka akan muncul rasa pengabdian kepada negri ini, sehingga apapun profesinya dimanapun dia berada akan berusaha memajukan dan membesarkan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, harus tampil sekelompok pemuda pembebas yang tercerahkan. Tampil meng-inspiring dan meng-empowering bangsa ini untuk meretas segala kemungkinan dan ketidakmungkinan yang disuguhkan dalam cawan zaman globalisasi yang terus menggelegak dan berubah cepat. Bukankah kaum muda selalu muncul menjadi pelopor untuk menghentikan kesunyian sejarah dengan mengobarkan api kehidupan, yang mencirikan pemuda sebagai pilar kebangkitan sebuah bangsa. Kini kegelisahan para pemuda kian mengental, yang mungkin saja bisa menjadi sebuah ledakan energy yang tumpah tak tertahankan.