NOVEL ; "Kutunggu kau di pintu syurga" | Pemuda Indonesia Foundation NOVEL ; "Kutunggu kau di pintu syurga" | Pemuda Indonesia Foundation

NOVEL ; "Kutunggu kau di pintu syurga"

Posted by Gerakan Pemuda Indonesia Berani Bermimpi On 4:43 AM






NOVEL ;
Kutunggu kau di pintu syurga



Chapter 7
Karena Hati Bicara




Salju Ankara jatuh deras berhamburan, melimpah ruah  di sepetak pelataran. Angin Kaulak berhembus kencang, menerpa pepohonan. Keadaan sangat dingin dibuatnya. Rona pasi pun tercipta di sekotak hunian.
            Taufiq menutup daun pintu, lalu bergegas menuju ruang kecil dekat pintu kiblat. Dia mengurungkan niatnya untuk beranjak ke tengah rumah, namun memilih berada di kehangatan kamarnya.
            Terbersit, kelezatan iman penuh kedamaian dalam gemulai shalat dan tahajjud, kala menyisihkan malamnya.
            Nyala pelita di menara al-fatih menyibak sang pagi. Hari itu, Taufiq pulang kerumahnya. Sore itu, udara masih dingin. Salju diarak angin tak bersahabat telah mendera tubuh Taufiq, dan mengiris orang-orang yang berada di sepanjang kota Ankara. Taufiq Nur memutuskan kembali untuk tetap berdiam diri di biliknya yang kecil dan hangat.
            Bias sinar perapian kuno memantulkan remang cahaya ke sekelilingnya. Pelita kecil telah dinyalakan. Taufiq Nur duduk di atas kasurnya. Kedua matanya tertuju ke deretan buku-buku doa. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke sebuhul mushaf mulia yang berbalut tenun biru di rak khusus.
Taufiq terjaga dari tidurnya. Sebagaimana malam-malam saat musim dingin, acap kali dia melahap khatam al-Quran. Seperti biasa, dia memejamkan kedua matanya lebih dulu. Sayup-sayup terdengar bisikan khusyu shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Lembaran mushaf mulai dibuka.
Alunan suara merdu Taufiq Nur mulai melintasi beberapa ayat suci al-Quran berterjemahkan bahasa Turki. Halaman menunjukkan surat yang sedang dia resapi. Surat al-Baqarah 214 , di baris paling atas lembar kanan.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat “.
***

Angin terus merayap, menyusup lorong-lorong kota yang berliuk. Desau angin bersautan, mengiringi alunan suara Taufiq Nur yang berulangkali meresapi dan membaca surat al-Baqarah ayat 214 , dan menghampiri  surat al-Hadiid ayat 22.

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah
Taufiq mengakhiri alunan suaranya. Dengan khusyu, dia kecup mushafnya, lalu berdoa kepada Sang Maha dengan lirih suaranya melantunkan doa-doanya “Wahai yang menciptakan langit dan bumi, bagi-Mu amat mudah untuk menciptakan apapun yang Engkau kehendaki. Aku memohon kepada-Mu Ya Rabb… jika Deliana adalah jodohku maka aku mohon mudahkanlah jalannya, lembutkanlah hati orang tuanya.”. tak lama kemudian Taufiq menutup doanya “Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man nashir”.
Ali terjaga, entah berapa lama dirinya terlelap. Jentik-jentik peluh berkilauan di keningnya. Tatapannya mengarah ke jam perak tua yang jarumnya telah menunjuk angka dua. Sura-suara malam kini mulai terdengar di alam renungan.
Dia bangkit seraya mengusir kantuknya. Suara panggilan telah memenuhi lubuk hatinya. Dia segera mengenakan mantel wolnya. Dengan sepercik lampu pelita di tangan, dia berlalu menuju Taufiq yang masih bersimpuh diatas sajadahnya.
“Taufiq kenapa kamu belum tidur ?” belum sempat Taufiq menjawab, ali melontarkan pertanyaan berikutnya
“dan kenapa kamu menangis?, ayolah kawan tidur, besokkan kamu harus tampil presentasi di hadapan para mahasiswa Indonesia untuk menjelaskan konsep rasionalitas Negara Khilafah, aku tidak mau engkau berantakan menjelaskannya, besok adalah kesempatan baik akan ada ratusan mahasiswa yang mendengarkan terlebih lagi perwakilan Kedubes RI akan hadir juga ”.
“ ceritakanlah pada ku kawan, mungkin aku bisa membantumu” Ali berupaya menenangkan sahabatnya
“Aku sulit sekali melupakan Deliana padahal aku sudah berusaha keras untuk melupakannya, aku pun masih teringat kejadian satu tahun yang lalu, saat aku datang menemui orang tuanya untuk menjelaskan niat suciku. Ditelinga ku masih terngiang-ngiang akan semua perkataan orang tuanya”
“ emang orang tuanya bilang apa?” Tanya Ali dengan penuh penasaran
“ Kenapa Siti Khadijah mau menerima Muhammad saw sebagai suami atau imam di keluarganya karena Siti Khadijah tahu siapa Muhammad saw dan tahu keturunan dari keluarga apa”  ungkap Taufiq menirukan ucapan ayah nya Deliana.
“ kemudian Ibunya Deliana menambahkan, yang memberatkan berikutnya adalah Taufiq memiliki darah Aceh yang budaya adat istiadat yang berbeda dengan kami.” Taufiq berupaya menambahkan penjelasannya.
“ Anggap saja pertemuan ini tidak ada…”  itu lah perkataan terakhir ayah Deliana padaku Ali.
“ lantas apa rencanamu berikutnya” Tanya Ali dengan penuh penasaran
“ setelah aku menyelasaikan studi S1 di Turki, aku akan merantau ke kota dimana Deliana tinggal, aku akan meniti karir disana”
“ lho, ngapain kamu merantau ke kota dimana Deliana tinggal?” Tanya Ali dengan penuh keheranan.
“ Rasa ini sudah sangattt terlalu dalam pada Deliana, aku akan melanjutkan studi S2 dan S3 di sana. Sambil aku menulis buku yang akan aku beri judul Deliana kemudian aku akan kirim ke orang tuanya, bila perlu aku akan membuat bhakti sosial di tempat Deliana sebagai upaya terakhirku…” jawab Taufiq meyakinkan
“Jika itu semua gagal…??” Tanya Ali kembali
“Aku akan simpan rasa ini sampai aku tua dan aku akan berupaya keras untuk menenangkan diri entah untuk berapa lama sampai Allah swt mendatangkan akhwat yang bisa mengalihkan ingatanku” jawab Taufiq
“ ya sudah kalu begitu, kamu istirahat dulu ya sekitar 1 jam lah kemudian bangun untuk shalat shubuh” ujar Ali menenangkan kawannya
            Tak terasa jam perak tua jarumnya telah menunjuk angka tiga. Salju makin menderas, menyumbat gang-gang menimbun jalanan dan pepohonan. Sejenak, kota itu bagaikan gundukan-gundukan kapas yang menghibur mata.
            Taufiq kembali ke petaknya. Namun enggan kembali ke peraduan. Lalang pikiran kerap membuat dia tetap terjaga. Sosok banyangan Deliana telah mengusik pikiran dan hatinya. Sedang ribuan pelita telah menyala dalam lubuk hatinya.
***


Bandung, November 2012
Penulis ;
Chandra Purna Irawan

    Karya

    More on this category »

    Inspirasi

    More on this category »

    Event

    More on this category »

    About Us

    More on this category »